Kamis, 14 Mei 2020

Spin-Off Perbankan Syariah: Catatan Webinar 14 Mei 2020

       Diskusi kali ini (14 Mei 2020) saya kira sangat menarik. Diskusi yang membahas tentang kebijakan spin-off pada perbankan syariah ditengah pandemi covid-19 ini disampaikan oleh Prof. Dr. M. Nur Arianto Al-Arif, M.S.I., seorang profesor muda yang sangat produktif. Diskusi ini merupakan kegiatan rutin diselenggarakan jurusan ekonomi syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
       Dalam paparannya pak Al-Arif memaparkan persoalan yang melingkupi kebijakan spin-off bank syariah. Undang-Undang no.21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah mengamanatkan bahwa Unit Usaha Syariah (UUS) yang memiliki aset 50% dari aset induknya harus melakukan spin-off (pemisahan). Proses spin-off dilaksanakan paling lambat 15 tahun sejak UU ini disyahkan, yakni tahun 2023. Jika kewajiban ini tidak diterapkan, maka pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini, dapat mencabut izin usaha SBU (PBI nomor 11/10 / PBI / 2009 pasal 43 (1)). Kebijakan ini sesungguhnya didasari asumsi bahwa banyak masyarakat yang menginginkan perbankan yang murni syariah. Artinya langkah strategis ini dilakukan untuk menangkap peluang pasar atau kebutuhan masyarakat akan layanan keuangan syariah.
       Setelah perjalanan panjang kebijakan ini digulirkan, sebagai hasil penelitian Al-Arif menyatakan bahwa tidak ada satupun UUS yang dapat mencapai kriteria memiliki aset 50% dari aset induknya, namun semangat spin-off tetap dilaksanakan dengan kriteria kedua. Tentu ini menjadi masalah baru. Asumsi 50% aset merupakan representasi dari kemampuan survive UUS ketikatelah mandiri. jika kemudian syarat ini tidak terpenuhi dan dipaksa untuk tetap spin-off, bisa dibayangkan bagaimana UUS tersebut mampu survive. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa spin-off tidak memberikan dampak positif terhadap peningkatan kinerja BUS. Ini persoalan pertama.
       Persoalan kedua, bahwa setelah spin-off menjadi mandiri, dari beberapa kasus memperlihatkan bahwa terjadi konflik interest antara induk dengan BUS baru yang notabenenya adalah anak perusahaannya. dengan kata lain UUS yang telah melakukan spin-off dianggap sebagai kompetitor bagi induknya. Sehingga tidak terjadi hubungan harmonis antara induk dan mantan anak, begitu kira-kira. Persoalan ketiga, masalah Sumber daya manusia. Beberapa kasus menunjukkan bahwa spin-off juga memberikan stigma baru, bahwa karyawan yang dengan high quality lebih memilih tetap di kantor induk, dan karyawan low quality lah yang mendapat tugas ditempat baru hasil spin-off. Atau dalam kasus yang lain, ada kepentingan pimpinan untuk mendapatkan posisi baru dengan fasilitas yang baru pula.
       Persoalan keempat, adalah tingginya cost yang harus dikeluarkan ketka akan melakukan spin-off. Biaya terbesar terletak pada pengadaan IT. Jika UUS yang spin-off masih mendapat support IT dariinduknya tentu akan sangat baik. Karena tidak lagi memerlukan cost tinggi pengadaan IT seperti BNI dan BNI Syariah masih menggunakan IT yang sama. Namun menjadi persoalan disaat bank induknya melepas begitu saja, seperti BRI Syariah dan lain-lain.
       Melihat persoalan sebagaimana dipaparkan di atas, yang akhirnya kebijakan spin-off tidak dapat meningkatkan kinerja BUS, artinya kinerjanya cenderung stagnan bahwa memburuk, maka sepertinya kebijakan spin-off ini memerlukan perubahan-perubahan guna memperbaiki kinerja dan citra bank Syariah di Indonesia. Catatan akhir dari diskusi ini, bahwa kebijakan spin-off akan berhasil jika UUS yang akanmelakaukan spin-off kinerja keuangannya sudh baikdan masih mendapatkan support system dari induknya. Belajar dari pengalaman di beberapa daerah yakni Aceh dan NTB, kebijakan spin-off bahkan konversi syariah telah dilakukan dengan baik. 
       Catatan kecil ini saya persembahkan untuk anda, pemerhati, pecinta, penggiat ekonomi syariah danperbankan Syariah. Salam.
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar